Namun, kalau dilihat dari perkataan dan karya Syekh Taqiyuddin sendiri, ada beberapa kontradiksi yang bisa dipandang sebagai “kesalahan internal” yang lahir dari pemikirannya:
Taqiyuddin menekankan Islam sebagai sistem politik (nizham), tapi beliau sendiri jarang menyinggung tentang tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak, dan amal sosial.
Padahal dalam Islam, akhlak dan ibadah menjadi inti ajaran Nabi SAW.
Dalam kitab Nizhamul Hukm, beliau menegaskan bahwa sistem pemerintahan selain khilafah adalah kufur.
Ini kontradiktif, sebab para ulama klasik berbeda pendapat tentang detail bentuk pemerintahan, bahkan ada yang membolehkan imamah kecil (wilayah/wilayah).
Taqiyuddin menulis seolah khilafah Islam sepanjang sejarah selalu seragam dan ideal.
Faktanya, setelah Khulafaur Rasyidin, kekhalifahan banyak berubah (Umayyah, Abbasiyah, Utsmani) dengan praktik monarki, bahkan dinasti.
Beliau menekankan metode dakwah harus langsung menuju perubahan sistem (thalabun-nusrah, mencari dukungan kekuasaan).
Ini bertentangan dengan strategi Nabi SAW di Makkah, yang berdakwah bertahun-tahun fokus pada akidah dan akhlak sebelum ada kekuasaan.
HT dipandang beliau sebagai satu-satunya partai yang membawa kebenaran.
Ini membuat “hizbiyyah” (fanatisme kelompok) yang justru beliau kritik terhadap partai-partai sekuler.
Kalau pun kita mau menyebut “kesalahan HT menurut Syekh Taqiyuddin,” maka itu bukan berupa kritik langsung beliau terhadap organisasinya, tetapi berupa kontradiksi dalam pemikiran beliau sendiri, seperti terlalu mem-politisasi Islam, mengabaikan akhlak, dan menganggap hanya khilafah ala HT yang sah.
Mau saya buatkan tabel perbandingan antara pemikiran ideal Syekh Taqiyuddin vs realitas sejarah Islam supaya terlihat jelas di mana kontradiksinya?
Dibuat oleh: Gilang V F
Tanggal: 17 September 2025